Selamat Datang di Blog Sederhana Ini FERRY PENCARI RAHMAT Dari Sekedar Iseng, Mari Belajar Menghargai, Belajar Bersyukur, Belajar Menjadi Lebih Baik

Tuesday, November 8, 2016

Ujian Islam Di Pusaran Kasus Penistaan Agama dan Dilema Sang Presiden

Tulisan ini mengalir begitu saja. Sekedar bahan renungan pribadi, yang lahir dari sebuah kegundahan saya sebagai orang awam. Saya sendiri mungkin tak tau harus berbuat apa. Hanya mencoba menyimak, mengikuti, share pendapat dan pemikiran yang entah ada manfaatnya atau tidak. Hingga terkadang malah saya harus berdebat dengan kawan sendiri di media sosial, karena beda pendapat, beda pemikiran, beda pandangan, bahkan beda keyakinan.

Bermula dari permasalahan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa dipanggil Ahok, yang menjadi viral dan menjadi pembahasan publik karena diduga melakukan penistaan terhadap agama, dengan mengutip Surat Al Maidah Ayat 51 dalam Al Qur’an yang menjadi pedoman hidup umat Islam, entah kenapa saya jadi ikut-ikut latah bicara soal kasus ini, yang sekarang masih ditangani oleh aparat hukum negeri ini.

Mungkin karena saya muslim, jadi ketika aqidah/agama yang saya yakini kebenarannya diusik, ramai dibicarakan, ada pro kontra, bahkan tak dipungkiri juga ada yang menghujat, maka hati nurani saya ikut tergerak dan bergolak. Seperti halnya mereka saudara-saudara saya umat Islam yang berjuta-juta telah turun ke jalan menyuarakan aspirasinya di Jakarta, dan di berbagai daerah bahkan hingga di manca negara.

Disisi lain mungkin juga karena saya ikut merasa terpanggil untuk sekedar ingin berbicara bahwa hal ini juga cukup mengkhawatirkan dalam situasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena banyak statement yang berkembang, bahkan ironisnya diucapkan para pemuka dan petinggi negeri, ada yang menarik-narik, memelintir kasus penistaan agama ini, ke arah ranah politik hingga pergumulan antar SARA. Ini sebuah pemahaman yang mungkin harus disikapi semua pihak dengan jernih dan bijak. Perlu diluruskan agar tidak berkembang liar, memecah belah dan membahayakan kehidupan masyarakat.

Agar tak meluas, marilah seyokyanya dengan logika kita dudukkan bahwa tuntutan terhadap penyelesaian kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan Ahok, harus dipahami hanya dialamatkan pada orang/person-nya secara pribadi, yang memang harus menjalani proses hukum. Jadi Stop sampai disini saja! Jangan lalu dikembangkan liar apalagi sampai dikaitkan dengan status agamanya (non muslim) atau etnisnya (thionghoa). Atau lantas disambungkan pula dengan Pilkada DKI jakarta, karena ia ikut mencalonkan kembali jadi Gubernur. Ini asumsi yang bisa jadi akan sangat keliru, jika tanpa bukti dan fakta mendasar, dan juga malah akan memperkeruh suasana dan berbahaya.

Salah satu pedoman dalam kehidupan berdemokrasi, berbangsa dan bernegara, tentang upaya menjaga kerukunan hidup antar umat beragama di negara kita yang harus diingat dan dipahami adalah, sudah ada aturan hukum yang disepakati bersama bahwa Siapapun itu yang diduga melakukan penghinaan terhadap suatu agama harus diproses sesuai aturan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam kasus penistaan agama yang mengaitkan nama Ahok, ada yang menilai kasus ini serasa memprihatinkan, sangat disayangkan ketika terkesan lambat untuk segera ditangani aparat yang berwenang. Entah karena apa, publik pun hanya bisa menduga-duga mungkin ada apa-apanya?

Sehingga imbasnya secara tak langsung juga menjadi seolah tak begitu baik dan membuat tak nyaman bagi umat Islam. Tengoklah, banyak silang pendapat para tokoh Islam dan ulama, yang bisa disaksikan melalui televisi, media online hingga sosial media. Yang kontra Ahok menuntut, yang pro melindungi. Ini menyedihkan bagi saya pribadi sebagai umat Islam. Agama ini seperti sedang diuji, dengan para ulama dan umatnya yang seperti sedang diadu domba dan diobok-obok rasa persaudaraannya. Belum lagi yang tak pantas ada pula sebagiaan non muslim yang malah ikut melibatkan diri dan membumbui. Kalau ada non muslim yang tepuk tangan dan mengambil keuntungan, ini tentu sungguh keterlaluan. Inilah yang malah bisa disebut aksi SARA, yang sejatinya harus dihindari dan disejukkan oleh semua pihak.

Sebagai Kepala Daerah di Jakarta, tak dapat dipungkiri banyak yang mengakui dan mengapreseasi beberapa hasil positif yang dicapai Ahok. Banyak pula yang berpandangan, jika Ahok bisa lebih hati-hati dalam menjaga lisan, tidak sering mengumpat bahasa yang tak pantas (maaf: taik, babi, dsb), juga bisa menahan diri untuk tidak bicara tentang ajaran agama orang lain yang sensitif, maka bisa jadi mungkin Ia akan melenggang lagi dengan cukup mulus memimpin Jakarta. Terlepas siapapun dia, agamanya maupun etnisnya.

Tapi faktanya lain yang terjadi. Sang Gubernur itu malah seperti membakar api yang asapnya kemana-mana. Soal bicara kasar mungkin sudah wataknya, sebagian tak mempermasalahkan. Tapi secara pribadinya, ketika Ia sudah berani bicara yang diduga menyinggung ajaran agama tertentu di muka umum, apalagi agama itu berbeda dengan keyakinannya, ini tentu sungguh tak etis. Entah sadar atau tidak, jika diibaratkan Ia seperti telah salah masuk kamar, kamar tetangganya yang seharusnya tidak Ia masuki tanpa ijin. Seseorang apalagi dengan jabatan Gubernur atau pemimpin sepert dia tentu sangat tak terpuji jika benar-benar terbukti menghina SARA. Karena ini hal yang sangat sensitif yang seharusnya bisa dihindari untuk menjaga kerukunan. Ada pula penilaian, kalau bukan Ahok yang disinyalir dekat dengan lingkar kekuasaan, atau Ia hanya orang biasa, mungkin bisa jadi sudah lama Ia dicokok aparat, langsung diproses hukum, tanpa perlu ada gaduh dari perdebatan pakar Islam atau Ulama seperti saat ini.

Hingga kemudian bergulir pula asumsi liar bahwa Ahok itu seolah kebal hukum, dan juga praduga bahwa hukum seperti tajam ke bawah tumpul ke atas. Dampaknya pun meluas, ketidakpuasan sebagian masyarakat menjadi seperti bola salju yang menggelinding dari ibukota Jakarta sampai ke daerah-daerah yang pergerakannya semakin membesar. Harus dicermati, bahwa dengan menyaksikan aksi jutaan umat Islam tidak hanya di Jakarta, tapi juga di hampir semua daerah di Indonesia bahkan hingga simpati dari umat Islam di sejumlah negara yang ikut bereaksi, hal ini menunjukkan bahwa kasus penistaan agama yang menyeret nama Ahok, adalah masalah serius yang harus diatasi, segera secara tuntas!

Ketika melihat begitu dahsyatnya gelombang pergerakan massa tersebut, jangan pula melemparkan permasalahan ini dengan pertanyaan dan penyataan yang kontra poduktif dan bersifat provokatif. Harus dimaknai dengan bijak, logika dan nalar. Karena hal itu juga bisa mencederai umat Islam. Mengingat dalam pergerakan massa itu sebagian besar dari mereka itu murni panggilan aqidah (agama). Ketika bicara aqidah, mereka bak relawan, siap tanpa dibayar dan siap berkorban apapun. Lebih mengerikan lagi jangan sampai dibatas kesabarannya nanti massa muslim yang jutaan itu mengeluarkan semboyan “Jihad”, karena itu adalah sinyal genderang perang bagi mereka, berani mati demi membela agama. Nauzubillah, bisa chaos negeri ini.

Katanya ada yang menunggangi dan ada provokator yang ingin membuat rusuh? Mungkin. Karena dalam setiap pergerakan aksi demontrasi, logika berbicara memang selalu beresiko ditunggangi dan disusupi oleh provokator yang mau membuat ricuh dan mengambil keuntungannya sendiri. Tapi ini harus disikapi secara bijak dan dibuktikan faktanya siapa yang bersalah, dan ini tugas aparat yang berwenang. Contoh dari aksi Bela Islam 4 November 2016, tujuan utama demo tentu bukan untuk berbuat rusuh tapi menyuarakan aspirasi. Coba bayangkan jika massa yang jumlahnya ratusan ribu di Jakarta hingga jutaan jika ditambah aksi di berbagai daerah itu sejak awal niatnya bikin rusuh? Apa hal ini tidak amat mengerikan untuk dibayangkan? Pada akhirnya memang terjadi benturan tapi dalam taraf yang relatif tak begitu besar. Penilaian secara lebih objektif harus dikedepankan. Bukan asal membuat opini yang malah bisa memperkeruh suasana.

Katanya ada aktor politik dan kepentingan politik? Aktor politik bisa jadi mungkin ada, tapi ini juga harus benar-benar bisa dibuktikan bukan hanya sekedar menuduh dan menggiring opini, atau mengaburkan inti permasalahan kasus penistaan agama yang harus diselesaikan.

Sedangkan kepentingan politik, jika dianalisa memang jelas ada. Pertama, karena Hukuman yang mengatur tindak pidana penistaan agama di negara kita diputuskan oleh aparat hukum yang ada di lingkar kekuasaan pemerintah yang dipimpin Presiden yang dipilih secara demokrasi/politik. Peraturan undang-undangnya pun disahkan oleh pemerintah dengan unsur politik, yang duduk di DPR. Lain halnya kalau di negara kita tak ada aturan itu, dan pakai hukum rimba, mungkin orang seperti Ahok yang diduga melakukan penistaan agama, prosesnya langsung dilumat dan diserang oleh jutaan umat yang berdemo.

Kedua, dalam kaitannya dengan pemerintahan Presiden Jokowi, jika kasus ini tak tegas diselesaikan sesuai harapan jutaan umat Islam, yang dipertaruhkan memang adalah kekuasaan politiknya. Ini juga tentu sudah sangat disadari oleh para politikus pendukung presiden. Saat ini mereka pun mungkin sedang berpikir tentang hitung-hitungan politik untung ruginya. Kasus ini memang bak simalakama bagi Presiden Jokowi. Satu sisi Ia ingin berbuat untuk rakyat, satu sisi Ia harus melindungi kepentingan politik pendukungnya. Namun jika tak cepat terselesaikan, konon masih ada aksi Bela Islam Jilid III (yang dari info berkembang direncanakan 25 November 2016), yang harus diantisipasi massa mungkin bisa jadi akan lebih besar dari Jilid I dan II.

Gelombang pergerakan massa yang maha dahsyat harus disadari dan diwaspadai akan sangat membahayakan bagi stabilitas bangsa dan negara ini. Jika aparat hukum dan pemerintah salah mengambil langkah dan kebijakan, yang juga harus dikhawatirkan adalah kemungkinan terjadinya tuntutan revolusi, yang tentu dampak negatifnya sangat tidak kita inginkan bagi rakyat dan kita semua. Dan disinilah pula nanti kepentingan politik maupun para aktor-aktor politik akan bermain dengan sangat jelas. Jika sekarang memang tak bisa dikesampingkan pula anggapan ada yang terlibat, tapi sepertinya sulit dibuktikan, karena saat ini mereka mungkin hanya menunggu apa yang akan diputuskan oleh aparat hukum dalam pemerintahan Presiden Jokowi terhadap kasus dugaan penistaan agama yang membelit Ahok. Jika terpeleset, Presiden Jokowi mau tidak mau harus siap menghadapi dua gelombang badai besar sekaligus, yaitu gelombang massa umat Islam dan gelombang kepentingan lawan politik yang akan mengambil keuntungan.

Dari kacamata awam, sebenarnya kata kunci yang sederhana dan simple dari penyelesaian permasalahan ini sebenarnya; Sudahlah, aparat dan pemerintah segera cepat selesaikan saja kasus Ahok yang diduga menistakan agama. Janganlah dibuat rumit, ruwet, dan diplintir-plintir masuk ranah politik, Pilkada DKI, jadi perdebatan SARA, dan lain-lain. Karena ranah kasus ini yang utama adalah siapapun yang menistakan agama harus diproses hukum. Ini aturan yang sudah baku dan berlaku di negara kita. Jatuhkan hukuman tanpa pandang bulu jika sudah dinilai salah dan melanggar, apalagi dalam kasus Ahok, sudah dikuatkan dengan pernyataan sikap (fatwa) MUI, yang notabene merupakan organisasi yang menjadi representasi dari berkumpulnya para pakar, tokoh dan ulama Islam, yang menjadi rujukan sebagian besar umat Islam. (Contoh seperti label Halal, penetapan Hari Raya dan sejumlah keputusan MUI lainnya, bukankah selama ini juga dijadikan pedoman mayoritas umat Islam).

Jika kasus Ahok cepat dituntaskan, paling tidak ini juga akan mengurangi tekanan pada pemerintahan Presiden Jokowi yang mungkin tidak akan sampai diusik kekuasaan politiknya lebih jauh, dari dampak kasus ini yang berkepanjangan.

Namun semua itu tergantung aparat hukum di negeri ini, yang juga tentu akan merepresentasikan langkah dari pemerintahan Presiden Jokowi. Akankah Ia memilih melindungi Ahok dengan segala konsekuensinya terhadap kekuasaan politik sang Presiden, dan resiko mempertaruhkan kehidupan berbangsa dan bernegara? Atau menuruti gelombang aspirasi rakyat yang berkembang luas dan kencang untuk menegakkan hukuman pada orang yang diduga menistakan agama, meski dia adalah kawan Presiden, kolega satu garis politik, yang juga bukan tidak mungkin punya dampak psikologis dan politik tersendiri bagi Presiden Jokowi?

Rakyat menunggu kerja aparatmu dan perhatianmu, Bapak Presiden... !***

(Ferry R)

No comments:

Post a Comment