Selamat Datang di Blog Sederhana Ini FERRY PENCARI RAHMAT Dari Sekedar Iseng, Mari Belajar Menghargai, Belajar Bersyukur, Belajar Menjadi Lebih Baik

Friday, April 8, 2016

Sebatas Absensi, Ironi Kinerja Aparatur

Dalam Rapat Koordinasi Pendayagunaan Aparaur Negara Tingkat Propinsi se- Indonesia di Jakarta 8 Maret 2016, Deputi SDM Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) Setiawan Wangsa Atmaja memaparkan bahwa, menurut datanya ada 42% dari 4,5 juta atau jumlahnya sekitar 1,89 juta PNS di Indonesia yang datang ke kantor tidak tahu apa yang harus dikerjakan.
Sehingga pemerintah tentu tidak bisa membiarkan PNS yang datang ke kantor hanya melongo. “Semua (PNS) harus tahu kerjanya dan menghasilkan kinerja,” ungkap Setiawan. Karenanya ia juga berpesan agar Pemerintah Daerah dapat melakukan audit organisasi dan memetakan PNS-nya, agar bisa diketahui berapa sebenarnya jumlah PNS yang masih bisa didongkrak kemampuannya dan berapa yang harus dirasionalisasi.

Fakta tentang banyaknya aparatur yang datang ke kantor cuma plonga-plongo atau kalaupun bekerja minim produktivitasnya, sebenarnya tak mengagetkan. Sudah menjadi rahasia umum! Sehingga tengoklah pula sampai saat ini stigma negatif tentang kinerja aparatur masih saja melekat dan menjadi sorotan. Mulai dari tingkat disiplinnya yang rendah, hingga produktivitas kinerjanya yang seringkali dicap belum optimal dalam menjalankan roda pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik.

Belum lagi, siapa yang bisa menyangkal hingga kini praktek korupsi, kolusi dan nepotisme tak kunjung habis kisahnya di dunia pengabdian aparatur? Bahkan mungkin setiap hari kita bisa melihat sendiri baik di media cetak maupun elektronik, masih ada saja cerita oknum aparatur yang terjerat kasus hukum. Banyak yang telah terbukti bersalah dan meringkuk di hotel prodeo. Ironis lagi nada-nada sumbang menimpali, boleh jadi mereka ini mungkin yang ‘apes’. Karena di luar sana diduga masih banyak aparatur yang berkelakuan sama, tapi masih beruntung belum terungkap ‘kenakalannya’.

Fenomena godaan kekuasaan dan uang negara, seperti sudah menjadi bumbu tak sedap yang melekat dari kiprah para aparatur. Aromanya menyebar sulit ditutupi. Ironisnya yang busuk terkadang seolah menggerus yang baik. Banyak yang melihat, tapi kadang memilih menutup mata. Mendengar tapi menutup telinga. Meski sebenarnya mereka cukup sadar, riak-riak itu bisa saja kelak akan bergulung menjadi ombak, yang mungkin bisa menelan mereka sendiri.

Jika ditanya kepada masyarakat, apa komentarnya tentang kinerja aparatur saat ini, bisa diyakini pula mungkin sebagian besar masyarakat dari berbagai pelosok negeri ini akan mengatakan belum puas dan menuntut aparatur bisa bekerja lebih baik lagi.

Pemerintah sendiri, selama ini bukan tidak berbuat untuk memperbaiki kualitas dan mental aparatur. Seperti yang terbaru salah satunya dengan menerapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negera (ASN), sampai upaya lain yang sekarang diwacanakan yaitu rencana rasionalisasi aparatur. Tak hanya itu, revolusi mental birokrasi pun sudah lebih dari setahun ini telah digemakan oleh pemerintahan presiden Jokowi saat ini.

Tapi apakah semua upaya yang dilakukan pemerintah itu efektif dan telah membawa perubahan positif terhadap kinerja aparatur saat ini menjadi lebih baik? Kita tentu harus optimis jika upayanya baik semoga hasilnya baik. Hanya saja yang perlu dicermati, terkadang keinginan baik pemerintah itu seolah belum sepenuhnya bisa dijabarkan dan dijalankan dengan baik oleh para pemangku kekuasaan, pembina, dan pemimpin aparatur itu sendiri.

Di berbagai daerah misalnya, banyak terjadi mindset pemimpin dan pejabat pemerintah daerah yang boleh dibilang perlu diluruskan dalam melaksanakan kebijakan pembinaan kinerja aparaturnya. Terutama jika pola pembinaan itu dilakukan secara partial, seperti hanya menitikberatkan pada aspek kehadiran (absensi) pegawai, tanpa menekankan berbagai aspek lain yang justru lebih penting dalam mendongkrak disiplin dan produktivitas kinerja aparatur.

Fokus pembinaan aparatur yang hanya memperhatikan absensi atau jam kehadiran maupun kepulangan pegawai di kantor bahkan lengkap dengan kegiatan apel pagi-apel sore pegawai pun dirasa kurang efektif, karena cenderung tidak sepenuhnya tepat untuk mengukur kinerja pegawai secara keseluruhan. Logika sederhananya, jika hanya soal absen, pegawai yang datang dan pulang kerja tepat waktu serta selalu ikut apel pagi-apel sore, meski di kantor hanya duduk, diam, plonga-plongo dan minim bekerja, apakah ia sudah layak disebut aparatur yang baik? Lalu bagaimana dengan aparatur yang semisal memiliki peran dan hasil pekerjaannya lebih nyata, meski terkadang kehadirannya tak sebaik mereka?

Inilah mungkin yang perlu dikaji kembali. Bahwa pembinaan aparatur diharapkan tidak hanya sebatas absensi tetapi harus mencakup pada seluruh aspek yang bisa memperbaiki kualitas dan profesionalitas aparatur. Pimpinan aparatur di setiap satuan kerja harus adil dan objektif, serta harus memiliki konsep dan kebijakan pembinaan yang jelas, terukur, dan terarah dalam meningkatkan disiplin, hingga produktivitas aparatur yang menjadi bawahannya.

Absensi pegawai penting diperhatikan, sebagai bentuk disiplin dasar pegawai dalam bekerja dan melaksanakan tugas. Dalam praktik di lingkungan kerja sehari-hari, pelaksanaan disiplin dasar ini terlihat dari kepatuhan para pegawai untuk menaati jam kerja masuk dan jam kerja pulang; mematuhi pakaian seragam lengkap dengan atribut dan tanda pengenalnya; mengikuti upacara yang diwajibkan; serta bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap semua pegawai, atasan dan anggota masyarakat lainnya (Saydam, 1997: 54).

Namun selain absensi, yang perlu diperhatikan bahwa keberhasilan pembinaan disiplin juga dipengaruhi oleh beberapa faktor penting lain seperti: besar-kecilnya kompensasi; ada-tidaknya keteladanan pemimpin; ada-tidaknya aturan yang dapat dijadikan pegangan; keberanian pimpinan dalam mengambil keputusan; ada-tidaknya pengawasan pimpinan; ada-tidaknya perhatian kepada pegawai; dan diciptakannya kebiasaan-kebiasaan yang mendukung tegaknya disiplin kerja pegawai (Saydam, 1997: 2004).

Sehingga jelas, untuk melakukan pembinaan kinerja aparatur sudah barang tentu peran pimpinan atau atasan sangat menentukan. Bagaimana pimpinan atau atasan bersikap dan berperilaku yang umumnya tercermin dalam gaya kepemimpinan, akan berpengaruh dan ikut mewarnai efektivitas pembinaan yang dilakukan.

Ada sebuah pandangan menyatakan bahwa bentuk pembinaan yang sesuai diterapkan di lingkungan aparatur, antara lain: komunikasi atasan-bawahan harus dijaga, disiplin harus mendidik, jangan kaku dan memberi motivasi kerja; adanya keteladanan dan konsistensi pimpinan dalam bersikap dan berperilaku; distribusi tugas yang merata; sistem/mekanisme harus jelas dan mudah dipahami oleh pegawai; serta adanya punish dan reward yang tegas, seimbang dan objektif. Sedangkan pembinaan dikatakan berhasil, apabila tercermin dalam beberapa hal, antara lain: pegawai dapat melaksanakan tugas secara baik (efektif dan efisien); kemampuan pegawai meningkat, sehingga dapat menjamin partisipasinya dalam pelaksanaan tugas; kesetiaan dan loyalitas kepada organisasi meningkat; serta terciptanya iklim kerja yang kondusif, serasi dan memiliki produktivitas kinerja yang tinggi.

Oleh sebab itu sekali lagi yang harus digarisbawahi adalah, tentu pemerintah dan masyarakat tidak hanya menuntut aparatur rajin ke kantor mengisi absensi, tapi kenyataannya hasil kerjanya tidak bisa diharapkan. Tetapi yang sangat dibutuhkan adalah aparatur yang memiliki kualitas dan profesionalitas yang lengkap. Tidak hanya aparatur yang disiplin dan rajin berangkat ke kantor, tetapi juga sosok-sosok aparatur yang bisa melaksanakan tugas dengan baik, kreatif, dan produktif, sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.

Jadi jangan cuma isi absensi. Tapi kerja, kerja, kerja itu juga penting aparatur !!! ***

No comments:

Post a Comment