Kualitas vs Cari Muka, The Winner Is?
Mencermati pergantian pucuk pimpinan, selalu saja ada
fenomena menarik. Satu diantaranya adalah banyak orang-orang yang resah, galau
dan khawatir. Lantas mereka pun sibuk sendiri, bingung mencari-cari. Apa yang
dicari? “Cari Muka.!!!” celetuk seorang sahabat.
“Lho, memang ‘muka’nya hilang,
kok dicari-cari?”. Kalau manusia tidak punya muka artinya tidak punya kepala,
jadi harusnya mati dong?.
Itulah logika
ungkapan “cari muka”. Persepsi orang-orang yang hidupnya selalu bergantung pada
orang lain, tanpa bekal kualitas, profesionalitas atau juga mungkin tanpa rasa malu,
maka ketika orang yang menjadi tempat bergantung sudah tidak ada, matilah dia.
Tapi yang cerdik atau bahkan licik, akan tetap hidup. Ini jika ia kembali
sukses menemukan ‘muka’nya dari orang baru, yang lagi-lagi akan dijadikannya
tempat menggantungkan harap. Hidupnya mungkin akan begitu seterusnya, tanpa ia
berpikir untuk berubah dan memiliki landasan mental yang baik.
Beda halnya dengan orang-orang yang tidak perlu susah
payah “cari muka”. Mentalnya menandaskan keyakinan bahwa ‘muka’nya selalu
melekat dalam dirinya tak perlu dicari, siapapun dapat melihatnya. Mereka yang
juga tak terlalu ambisius, karena selalu percaya bahwa tugas dan jabatan itu
adalah amanah.
Ya. Ketika anda memiliki
bukti kualitas, potensi, hingga prestasi, tak perlu sibuk “cari muka”. Karena
orang tentu telah dapat menilai kualitas anda. Yakin sajalah, tetap bekerja dengan
baik, ikhlas dan profesional, maka hal-hal yang mungkin anda inginkan, akan
datang dengan sendirinya, sebagai berkah kerja keras dan anugerah dari Allah
SWT, Tuhan YME.
“Cari muka” bukan solusi
untuk mengejar pangkat, jabatan atau meraih hal-hal yang menguntungkan bagi diri
pribadi, apalagi secara instant tanpa perjuangan. “Cari muka” adalah virus yang
merusak, mulai dari mental hingga sistem.
Sadarkah anda ketika virus
“cari muka” hinggap, maka ia akan menggerogoti mental, serta merendahkan
martabat dan harga diri anda? Kenapa? Karena orang “pencari muka” identik
dengan “penjilat”. Membayangkan asal katanya saja, orang sudah berpikir sesuatu
yang kotor dan menjijikkan. Lalu identik lagi dengan “pengemis”, dalam hal ini
pengemis kekuasaan. Kemudian dalam ajaran agama, juga disebut sebagai orang
“munafik”. Jadi, jika punya harga diri, apalagi masih merasa terhormat, maukah
anda dikatakan sebagai penjilat atau pengemis, atau disebut orang munafik..!?.
Dalam alam birokrasi dan
struktur kekuasaan, budaya “cari muka”, juga merusak sistem. Celakanya, ada
sebuah ungkapan dan mungkin telah menjadi fakta bahwa, “dimana ada yang
berkuasa, disana ada penjilat atau pencari muka”.
Penjilat di sekitar
pemegang kekuasaan, mengotori sistem. Seorang
penjilat sangat ambisius dan oportunis. Dia bekerja bukan semata-mata
menjalankan tugas atas nama kewajiban, tapi lebih pada niat mencari keuntungan,
bekerja demi pujian, uang, jabatan, atau karier semata. Selagi ada kesempatan,
segala macam cara akan ditempuh demi meraih semuanya, tak peduli benar atau salah,
halal atau haram.
Demi sukses, penjilat menganggap kolega
bukanlah teman seperjuangan, tetapi saingan. Teman yang memiliki kemampuan atau
berpotensi melebihinya dianggap rival terberat. Sehingga, seorang penjilat akan
mengeluarkan jurus sikut kiri sikut kanan, tendang depan tendang belakang, menenggelamkan
rekan kerja, serta menonjolkan diri yang paling baik, paling berpotensi, paling
qualified, dan paling bisa
diandalkan, untuk meraih simpati dan perhatian atasan.
Ada lagi perumpamaan lain dari penjilat,
yaitu “bunglon”. Kebaikannya seringkali cuma kepura-puraan, tidak punya
prinsip, sering berubah-ubah. Dia akan dekat pada orang, teman, atau siapapun
pimpinan yang bisa memberi keuntungan kepadanya.
Virus penjilat atau pencari muka bukan
tidak bisa diatasi atau paling tidak bisa diminimalkan. Kuncinya terletak pada
sang pemimpin. Seorang penjilat akan mati kutu bila pimpinannya berkualitas,
profesional dan idealis. Lidah seorang penjilat akan tumpul tak bertuah di hadapan
pemimpin yang adil dan bijaksana. Seorang penjilat akan rontok harga dirinya di
mata pemimpin yang lebih percaya pada kualitas dan prestasi yang dinilai secara
objektif, sesuai bukti di lapangan.
Dalam sebuah organisasi yang sehat, maka
para pencari muka atau penjilat di sekitar kekuasaan, harus bersiap-siap
tersingkir. Mereka tidak dibutuhkan, jika tidak bisa merubah prilaku, mental,
kualitas dan profesionalitasnya, serta bersaing secara sportif dalam pengembangan karier atau jabatan, dengan sesama rekan
kerjanya.
Jadi, semoga saja pemimpin pilihan
kita dapat mengemban amanahnya dengan baik, adil dan bijaksana, serta selalu
objektif dalam melakukan penilaian terhadap kualitas dan profesionalitas. Pemimpin
juga diharapkan dapat peka dan harus mampu memilih
dan memilah, mana yang baik, mana yang berkualitas, mana yang tulus, lalu mana
pula yang hanya cari muka, cari aman, atau cari keuntungan, serta berhati-hati
dengan para pencari muka/penjilat di sekitar kekuasaan, yang bisa saja suatu
saat dapat menjerumuskan sang pemimpin. ***
(ferry
rahmadi)
Bener banget ment artikel mu..
ReplyDeleteTerkadang orang yang mencari muka itu sulit dibedakan kadang gue pun tak habis pikir bisanya orang sperti ini menonjolkan omongannya dari pada kemampuannya..
ReplyDeleteBung Feri ketemu Fery... terima kasih bung... hehe...
ReplyDeleteInspirasi tulisan ini ketika ada momen pergantian Kepala daerah di t4 sy...Sbg wujud simpati sy thd teman2 berkualitas yg seolah tersingkir dan disingkirkan oleh para penjilat kekuasaan yg menjijikkan....
Jd.. hati2lah dg para penjilat di sekitar kita.... Hehehe
Good
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete