PNS Dilarang Berbisnis !?
Melihat
berita di televisi, membaca pemberitaan di beberapa media online, pembahasan
tentang kehidupan Pegawai Negeri Sipil (PNS) kembali menghangat dan menjadi
trending topic.
Berawal dari kasus dugaan korupsi Dhana
Widyatmika, PNS eks Ditjen Pajak berpangkat III/c yang juga diduga
melakukan pencucian uang dengan kekayaan milyaran rupiah, publik seperti
diingatkan kembali tentang sisi negatif dari pekerjaan PNS. Dhana sendiri
bahkan ada yang menjuluki ‘The Next Gayus’.
Ini karena keduanya sama-sama mantan pegawai pajak dan dijerat dengan pasal
yang sama, penyuapan dan pencucian uang.
Meski kasus Dhana masih dalam proses pengadilan,
namun opini di masyarakat sudah berkembang sedemikian rupa. Dari kasus Dhana,
salah satu yang menarik kemudian adalah berhembusnya larangan PNS berbisnis.
Karena dikawatirkan modal bisnis yang digeluti PNS berasal dari hasil korupsi,
atau pencucian uang. Bahkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sempat memberi penegasan
bahwa PNS tidak boleh melakukan usaha di luar pekerjaannya. Opini pun
berkembang di kalangan para pakar yang turut memberikan beragam pendapat.
Sesungguhnya aturan tentang larangan PNS
berbisnis, memang pernah ada dan dibuat sejak zaman Presiden Soeharto, yaitu Peraturan
Pemerintah No. 6 Tahun 1974 tentang
Pembatasan Kegiatan Pegawai Negeri dalam Usaha Swasta. Disebutkan, PNS golongan
IV/a ke atas, anggota ABRI berpangkat Letnan II ke atas, Pejabat, serta isteri
pejabat Eselon I dan yang setingkat baik di Pusat maupun di Daerah, Perwira
Tinggi ABRI, pejabat-pejabat lain yang ditetapkan oleh Menteri/Kepala Lembaga
yang bersangkutan, dilarang memiliki seluruh atau sebagian Perusahaan Swasta,
memimpin, duduk sebagai anggota pengurus atau pengawas suatu Perusahaan Swasta,
melakukan kegiatan usaha dagang, baik secara resmi maupun sambilan.
PNS golongan ruang III/d ke bawah, anggota ABRI
berpangkat Pembantu Letnan I ke bawah serta isteri dari Pegawai Negeri Sipil,
anggota ABRI dan pejabat yang tidak termasuk ketentuan sebelumnya, wajib
mendapat izin tertulis dari Pejabat Yang Berwenang apabila memiliki Perusahaan
Swasta atau melakukan kegiatan usaha dagang. Penjabat Yang Berwenang dapat
menolak permintaan izin apabila persetujuan itu akan mengakibatkan
ketidaklancaran pelaksanaan tugas dari yang bersangkutan, atau dapat merusak
nama baik instansinya.
Jadi, memang benar PNS dilarang berbisnis dan ada
aturannya?
Para PNS jangan khawatir, karena itu dulu.
Ternyata, larangan tersebut sudah tidak berlaku lagi. PP No. 6 Tahun 1974 sudah
dicabut dan yang berlaku sekarang adalah PP No 53 tahun 2010 tentang Disiplin
PNS.
Dalam PP No 53 Tahun 2010, memang terdapat beberapa
poin yang berisi larangan-larangan bagi PNS. Antara lain: 1) PNS dilarang bekerja
pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing,
2). PNS dilarang memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau
meminjamkan barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau surat
berharga milik negara secara tidak sah, 3) PNS dilarang melakukan kegiatan
bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun
di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan,
atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara.
Jika PNS kedapatan melakukan larangan yang
tertuang diatas maka akan diberikan hukuman disiplin. Hukuman disiplin ini
dibagi menjadi tiga yakni disiplin ringan, hukuman disiplin sedang dan hukuman
disiplin berat.
PP No 53 Tahun 2010 merupakan aturan terbaru soal
PNS sebagai revisi dari beberapa PP sebelumnya termasuk PP Nomor 6 Tahun 1974. Namun
pada PP No 53 Tahun 2010 justru tidak diatur soal larangan PNS untuk berbisnis.
Lalu, sebenarnya bijakkah jika ada aturan yang
melarang PNS berbisnis?
Banyak pendapat pro dan kontra. Tapi yang jelas
jika PNS berbisnis model cuci uang dari hasil korupsi tentu saja salah. Begitu
juga yang menimbulkan conflict
of interest, menggangu tugas pokok dan
pekerjaannya.
Tetapi
bagaimana dengan bisnis PNS yang modalnya benar-benar berasal dari hasil
keringat yang jujur, menabung dari gajinya misalnya, serta tugas dan
pekerjaannya pun masih tetap bisa berjalan. Apakah ini salah, apalagi ketika
kebutuhan hidup benar-benar menjeratnya? Seperti kondisi yang bisa saja dialami
oleh PNS staf atau bawahan. Karena jika PNS yang sudah menduduki jabatan, tentu
lebih beruntung, ia mendapat tunjangan jabatan, operasional, hingga fasilitas
yang lebih. Namun faktanya jumlah PNS bawahan lebih banyak dari pejabat. Kalau
semua PNS jadi pejabat tentu lain ceritanya. Dan lagi kalau semua jadi pejabat
lalu siapa yang jadi staf, yang diperintah, yang menjadi ujung tombak pelaksana
pekerjaan.
Masalahnya,
hingga kini kesenjangan kesejahteraan masih dialami oleh sebagian besar PNS.
Secara normal, rata-rata gaji PNS adalah antara 2-3 juta. Bahkan bagi yang
sudah berurusan pinjaman Bank karena kebutuhan, penghasilannya bisa kurang dari
1 juta, lebih parah lagi bisa minus. Sementara tambahan penghasilan resmi (bukan
hasil korupsi), belum tentu ada di setiap instansi tempat ia bekerja.
Apa
saja pengeluarannya? Banyak seperti layaknya kebutuhan hidup manusia lainnya:
1). biaya sehari-hari, 2). Biaya pendidikan anak, 3). Biaya tempat tinggal, 4).
Biaya kendaraan, 5). Biaya hidup tak terduga seperti kesehatan, listrik,
telepon, dll.
Inilah
yang bisa jadi, salah satu alasan yang mendorong PNS berbisnis. Dengan
penghasilan yang tak sebanding dengan pengeluaran, bisnis bisa jadi salah satu
solusi memenuhi kebutuhan hidup PNS. Pilihan berbisnis lebih baik daripada
korupsi, tapi tentunya bisnis yang tanpa memanfaatkan uang hasil korupsi.
Kalaupun dengan hasil usaha dan bisnis yang jujur PNS bisa kaya, lalu apa
salahnya?
Semua
pihak dituntut lebih manusiawi menilai PNS, karena PNS juga manusia. Kekurangan
dan kelemahan yang terjadi adalah ulah para oknum, jangan disama-ratakan pada
seluruh PNS. Percayalah pula bahwa tidak semua PNS suka atau punya kesempatan berkorupsi.
Dalam
dilema, mungkin memang menjadi PNS adalah pilihan pekerjaan yang sulit.
Kewajibannya dituntut selalu bekerja dengan baik. Sementara beberapa hak-hak
hidupnya dibatasi, seperti mulai dari larangan berpolitik, dan kini berhembus
kembali wacana larangan PNS berbisnis. Produktifitas dan pengabdian PNS pun tak
lantas dipuji dan dihargai, bahkan adanya kesalahan satu, dua, atau beberapa
orang PNS, membuat semua ikut kena caci maki.
Siapa
suruh jadi PNS..?
Sebuah
pertanyaan yang sulit dijawab pula. Karena semua pekerjaan pasti ada resiko,
bahkan untung ruginya. Sama halnya ketika berhadapan dengan masalah dan dilema
bisa saja muncul pertanyaan: Siapa suruh jadi Presiden/Gubernur/Bupati? Siapa
suruh jadi pengusaha? Siapa suruh jadi Pedagang?, Siapa suruh jadi Petani?
Siapa suruh jadi Pengemis? dll.
Ya, andai saja kita bisa lebih bijak menilai PNS
seperti pekerjaan lainnya. Menghargai
PNS seperti profesi pekerjaan lainnya. Menyamakan pegawai PNS seperti manusia
lainnya, yang sama-sama memiliki kebutuhan hidup, serta sama-sama punya hak dan
kewajiban yang tidak mau didiskriminatifkan.***
(Ferry R,
opini diterbitkan dlm Surat Kabar Pemkab Tuba; Dinamika Otda)
No comments:
Post a Comment