Selamat Datang di Blog Sederhana Ini FERRY PENCARI RAHMAT Dari Sekedar Iseng, Mari Belajar Menghargai, Belajar Bersyukur, Belajar Menjadi Lebih Baik

Tuesday, March 19, 2013

RUU APARATUR SIPIL NEGARA


Kerangka Sistem Birokrasi Yang Masih Diperdebatkan
  
Menyimak sebuah acara sosialisasi yang ditayangkan TVRI beberapa waktu lalu tentang Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (RUU ASN), menjadi menarik membicarakan tentang RUU tersebut. Karena sampai saat ini masih terjadi pro-kontra. Tarik ulur pembahasanpun masih terjadi antara pemerintah dengan DPR.
RUU ASN memang sedang menjadi buah bibir, baik di kalangan akademisi, pemerhati, maupun pelaksana administrasi negara, selama setahun terakhir. RUU ini menjadi pembicaraan hangat karena adanya sejumlah rencana perubahan dalam sistem kepegawaian di Indonesia, yang selama ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Wacana perubahan dalam RUU ASN, bukan hanya sekedar perubahan nama Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Melainkan lebih dari itu, terdapat banyak hal yang direncanakan berubah. Beberapa perubahan mendasar antara lain berkenaan dengan pembagian ASN, pembinaan ASN, dan sistem karir ASN.
Dalam RUU ASN, aparatur sipil negara terbagi atas PNS dan pegawai tidak tetap pemerintah (PTT). Keberadaan PTT akan mengakomodasi kebutuhan untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang diperlukan dalam organisasi, yang tidak harus dilakukan oleh pegawai berstatus PNS.
RUU ASN juga mengatur tentang pembinaan ASN yang dilakukan oleh beberapa instansi, yaitu Kementerian PAN dan RB, Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan Lembaga Administrasi Negara (LAN). Selama ini, pembagian peran antara ketiga instansi sering terkesan tumpang-tindih, sehingga menyulitkan instansi lain di pusat dan daerah dalam melaksanakan pengelolaan PNS.
RUU ASN mengedepankan kinerja dan profesionalitas aparatur, salah satunya dengan mengatur jabatan yang ada. Dalam RUU ASN, jabatan dibagi tiga, yakni: jabatan administrasi, fungsional dan eksekutif senior.
Jabatan administrasi terdiri dari pelaksana, pengawas dan administrator. Sedangkan Jabatan fungsional terdiri dari fungsional keahlian dan fungsional keterampilan. Jabatan fungsional keahlian terdiri dari ahli pertama, ahli muda, ahli madya, dan ahli utama. Untuk jabatan fungsional keterampilan terdiri dari pemula, terampil dan mahir.
Sementara Jabatan Eksekutif Senior (JES) adalah sekelompok jabatan tertinggi pada instansi (kementerian/lembaga/pemda). Aparatur eksekutif senior adalah pegawai ASN yang menduduki sekelompok jabatan tertinggi pada instansi melalui seleksi secara nasional yang dilakukan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan diangkat oleh Presiden.
Jabatan eksekutif senior terdiri dari pejabat struktural tertinggi, staf ahli, analis kebijakan, dan pejabat lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pejabat struktural tertinggi yang termasuk kelompok ini adalah mulai dari Wakil Menteri, Sekjen, Dirjen sampai dengan Sekda.
Dalam draf RUU ASN disebutkan bahwa jabatan eksekutif senior mencakup jabatan Eselon I dan Eselon II atau yang disetarakan dalam sistem administrasi kepegawaian yang berlaku selama ini. Disebutkan bahwa jabatan eksekutif senior di daerah hanya sekretaris daerah, sehingga jabatan eselon II di daerah seperti kepala dinas, kepala badan atau kepala kantor tidak termasuk sebagai pejabat eksekutif senior.
Dalam RUU ASN, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) akan dibentuk, yang berperan dalam mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan pembinaan profesi ASN dan melaksanakan seleksi calon pemangku Jabatan Eksekutif Senior. Keanggotaan KASN akan terdiri dari perwakilan pemerintah, akademisi, organisasi ASN, dan profesional sektor swasta.
RUU ASN memperkenalkan sistem pengisian jabatan lintas-instansi berbasis lamaran. Artinya, apabila terdapat jabatan kosong di suatu pemerintah daerah, maka seorang PNS dari pemerintah daerah lain atau dari instansi pusat dapat mengajukan lamaran untuk mengisi jabatan tersebut. Namun dengan memperhatikan kelayakan secara kompetensi dan administratif dari PNS yang bersangkutan. Sebagai contoh, jika ada jabatan Sekda yang lowong maka semua PNS dan non PNS yang memenuhi kualifikasi dan memiliki kompetensi bisa mengikuti seleksi. Sekda nantinya bukan lagi Kepala Daerah yang memilih dan menunjuk langsung, tetapi atas dasar hasil seleksi yang dilakukan KASN.
Manajemen ASN menekankan pada pengelolaan untuk menghasilkan Pegawai ASN yang profesional, memiliki nilai-nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Seleksi pegawai ASN maupun Jabatan Eksekutif Senior dilakukan berdasarkan kompetensi. Bahkan dalam RUU ASN ditegaskan, ada sanksi pidana bagi yang melanggarnya ketentuan.
            Hal lain yang diatur dalam RUU ASN adalah tentang batas usia pensiun PNS yang bertambah, diantaranya yang disesuaikan dengan jenis jabatan, yaitu untuk Jabatan Administrasi 58 tahun, dan Jabatan Eksekutif Senior 60 tahun. Wacana tentang pemberian gaji pensiun pun berkembang, yaitu akan dibayarkan sekaligus, tidak seperti pola sebelumnya yang diberikan per bulan.
            Apabila jadi diterapkan, RUU ASN akan benar-benar banyak melakukan perubahan. Bahkan bukan lagi reformasi, tetapi hampir seperti revolusi. Namun terlepas dari semua itu, sesungguhnya pembenahan terhadap tatanan dan sistem birokrasi pemerintahan di Indonesia hingga saat ini memang masih sangat perlu dilakukan. Banyak kekurangan-kekurangan yang harus diperbaiki, serta banyak kelemahan yang harus direformasi.
            Perdebatan tentang RUU ASN jangan sampai kontraproduktif. Semua pihak harus dapat mendasari argument atas fakta bahwa sampai saat ini kinerja PNS atau aparatur negara masih terus menjadi sorotan dan kritik. Sehingga dengan atau tanpa RUU ASN, publik tetap selalu menunggu dan berharap aparat birokrasi dapat berbenah dan melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Lepas dari label sarang korupsi, kolusi dan nepotisme, serta memperbaiki citra produktivitas dan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
            Jadi, jika memang sesuatu itu bermanfaat dan diperlukan untuk kebaikan, kenapa harus diperdebatkan? Karena kita juga harus menyadari bahwa, kadangkala sebuah kebijakan itu belum tentu dapat mengakomodir kepuasan dari semua orang, tetapi paling tidak kepentingan umum harus lebih diutamakan. ***

(Ferry R
dari berbagai sumber)

No comments:

Post a Comment