Kebijakan Simalakama BBM
Pemerintah kembali merencanakan kenaikan harga Bahan
Bakar Minyak (BBM). Wacana yang berkembang dari informasi kementerian ESDM, ditargetkan
per awal april 2012, harga BBM akan dinaikkan dengan kisaran kenaikan sekitar
Rp1.000 – Rp1.500,-. Tujuannya diantaranya adalah untuk mengurangi beban
subsidi dan penyelamatan APBN. Pemerintah beralasan, APBN saat ini sudah
kelebihan beban untuk menanggung subsidi BBM. Dalam APBN 2012, subsidi BBM
dipatok Rp 123,59 triliun, dengan asumsi harga minyak dunia USD 90 per barel.
Sementara saat ini akibat krisis Eropa, harga minyak dunia sudah di atas angka
USD 100 per barel. Dengan kenaikan harga Rp1.000 – Rp1.500, pemerintah
menerangkan sedikitnya Rp 31,5 triliun bisa dihemat oleh negara.
Namun sebagaimana
kenaikan-kenaikan BBM sebelumnya, rencana pemerintah menaikan harga BBM menimbulkan
gejolak. Berbagai pendapat bergulir, pro dan
kontra. Tak sedikit pula, aksi unjuk rasa dilakukan mahasiswa dan unsur
lainnya di berbagai daerah, menolak rencana kenaikan harga BBM.
Media pun tak mau kalah ikut ramai memberitakan. Perdebatan
seru ditayangkan di beberapa stasiun televisi. Entah menjadi tontonan menarik
atau malah membosankan. Karena semua seolah seperti debat kusir yang tidak menghasilkan
apa-apa. Para ahli perminyakan, mantan menteri, pejabat pemerintah, politikus dan
pakar ekonomi masing-masing merasa paling benar. Masing-masing ngotot dengan
pendapatnya sendiri. Sebuah silang pendapat yang biasa terjadi, kala pemerintah
merencanakan kenaikan harga BBM. Selalu dan selalu berulang.
Bukannya jelas
dan mendidik, argumen dan teori perhitungan harga BBM kadang malah bikin pusing
masyarakat. Bingung siapa ahlinya, dan siapa yang benar-benar pakarnya? Sulit
membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Karena masing-masing
perhitungan memiliki cara sendiri-sendiri. Pendapat kontra mengatakan, tidak
perlu menaikkan harga BBM karena berdasarkan perhitungan harga pokok BBM masih
memadai, bahkan surflus. Sementara pemerintah dan yang pro kenaikan menyodorkan
data yang berbeda. Tidak menaikkan harga BBM akan berakibat jebolnya APBN
karena subsidi yang dikucurkan sudah tak tertahankan lagi.
Gejolak yang
terjadi menempatkan pemerintah bak makan buah simalakama. Satu sisi, dengan
argumen jika tidak menaikkan harga BBM, maka beban keuangan negara semakin
berat. Sebaliknya, jika tetap dinaikan, pemerintah dinilai tidak berpihak
kepada masyarakat. Sebuah kebijakan yang
tidak populer, berisiko dan bisa dipolitisir untuk menurunkan citra pemerintah
(partai yang berkuasa). Tengoklah kemudian bak sebuah kesempatan, semangat lawan-lawan
politik atau oposisi-pun berkobar menyerang pemerintah, dengan alih-alih
memperjuangkan kepentingan rakyat. Tetapi politik, tetaplah politik. Sambil
menyelam minum air, sambil menentang kebijakan kenaikan BBM, sembari membangun
simpati rakyat terhadap partainya. Politik pencitraan, yang bisa menjadi
investasi jelang Pemilu 2014.
Kenaikan harga
BBM menjadi ujian ketegasan pemerintah untuk menentukan pilihan yang sulit. Diperlukan
pertimbangan yang matang dan kearifan. Sebuah kebijakan memang kadang kala bisa
saja diambil secara tidak aspiratif atau mengakomodasi kepentingan semua pihak,
namun formulasinya tetap harus memiliki landasan yang benar dan tepat. Hal
penting kemudian yang juga perlu dibangun pemerintah adalah transparansi. Kejelasan
dan kebenaran data akurat tentang pengelolaan BBM harus diketahui oleh
masyarakat, sehingga tidak menjadi simpang siur, serta menimbulkan berbagai
praduga dan pertanyaan yang diperdebatkan hingga menjadi isue politik yang
membingungkan. Keterbukaan atas azas kebenaran kinerja pemerintah yang tidak
dibuat-buat atau dimanipulasi, diperlukan untuk membangun rasa pengertian dan kepercayaan
masyarakat.
Setelah
keterbukaan, pertanyaan yang kemudian timbul adalah sudahkah pengelolaan BBM
dilaksanakan dengan baik? Sudahkah distribusi BBM bersubsidi, tepat sasaran? Evaluasi
menyeluruh harus dilakukan pemerintah. Karena pada kenyataannya, tujuan subsidi
seperti tidak sesuai harapan dan diindikasikan
banyak terjadi penyimpangan.
Subsidi yang membebani APBN ratusan triliun rupiah itu,
sebagian besar justru dinikmati oleh kalangan menengah ke atas. Sebab kalangan
inilah yang menjadi konsumen terbesar BBM untuk konsumsi kendaraannya.
Masyarakat kecil atau masyarakat miskin hampir tidak menikmati BBM bersubsidi,
karena sebagian besar bahkan tak pernah membeli BBM. Ironis, padahal subsidi
adalah bantuan untuk masyarakat miskin, tetapi yang kaya ternyata juga masih
banyak yang memiskin-miskinkan diri. Tulisan “premium hanya untuk orang tidak
mampu” di beberapa SPBU seperti cuma sebatas sindiriran yang tidak mempan dan dianggap
angin lalu.
Persoalan lain, akibat murahnya harga BBM bersubsidi diduga
menimbulkan banyak kasus penyelundupan BBM ke luar negeri. Karena disubsidi,
harga BBM di Indonesia cenderung lebih murah dibandingkan di beberapa negara
yang tanpa subsidi harganya berkisar Rp. 7.500,-, sehingga keuntungan cukup
besar dapat dikeruk para penyelundup BBM.
Belum lagi masalah lainnya, seperti kasus-kasus BBM
bersubsidi yang mengalir secara illegal ke industri. Demikian halnya, ketika
kenaikan harga BBM baru sebatas wacana, spekulan terkadang sudah mulai menumpuk
BBM, dan pemilik kendaraan mulai antri panjang di setiap SPBU. Akibatnya
terjadi kelangkaan BBM. Tetapi fenomena uniknya, di berbagai daerah pedagang
eceran BBM mulai ramai di tepi jalan termasuk di sekitar SPBU, yang sudah pasti
menjual BBM lebih mahal bahkan bisa lebih dari harga kenaikan BBM yang akan
ditetapkan pemerintah. Namun anehnya, penyimpangan ini seringkali luput dari
ketegasan aparat terkait. Ironisnya pula, beberapa yang terungkap fenomena ini melibatkan
ulah para oknum pemilik SPBU atau karyawannya untuk mencari keuntungan lebih.
Beragam
permasalahan pengelolaan dan distribusi BBM bersubsidi tersebut, seyogyanya
menjadi “PR” yang harus diselesaikan terlebih dahulu oleh pemerintah. Karena
bukan tidak mungkin pengelolaan dan distribusi yang baik dan tepat sasaran,
bisa jadi dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi gejolak permasalahan harga
BBM. Pemerintah harus menunjukkan langkah nyata, seperti menertibkan distribusi
BBM, melakukan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi dengan tegas, dan segera
menerapkan penggunaan energi alternative. BBM adalah bahan bakar fosil yang tak terbarukan, semakin banyak dipakai
semakin menipis stoknya. Sementara jumlah kendaraan setiap tahun selalu
meningkat, sehingga akan mengakibatkan peningkatan konsumsi BBM, jika tidak
diimbangi dengan adanya energi alternatif.
Oleh karenanya, perlu
kearifan dari berbagai pihak dalam menyikapi situasi ini. Ketika pemerintah dihadapkan
pada pilihan simalakama menaikkan harga BBM, masyarakat juga diharapkan dapat bijak
dalam merespon kebijakan pemerintah, selama hal itu dilakukan atas dasar kebenaran
dan fakta yang terjadi, yang masih bisa ditolelir dan dimengerti. Ibarat lagu
“jangan ada dusta diantara kita”.
Seperti dilema dan analogi buah simalakama, setiap
pilihan tentu memiliki resiko, namun jika pemerintah harus memutuskan, pilihan
bijaknya adalah mengambil langkah positif dan meminimalkan dampak negatifnya.
Apalagi jika kenaikan harga BBM benar-benar diputuskan, pemerintah paling
bertanggungjawab terhadap beragam dampaknya, seperti inflasi, efek
berantai terhadap kenaikan harga kebutuhan pokok dan harga barang lainnya, kenaikan
biaya transportasi dan industri, hingga dampak sosial seperti meningkatnya
jumlah masyarakat miskin, pengangguran dan lain-lain.
Sebagai
konsekuensi, sekaligus untuk membangun kepercayaan masyarakat, semua dampak
negative dari kenaikan harga BBM itu, tentu harus mampu diatasi pemerintah.
Solusi pengalihan subsidi BBM harus tepat sasaran dan jelas peruntukannya.
Pemberian kompensasi terhadap masyarakat miskin seperti Bantuan Langsung
Tunai (BLT) yang pernah digulirkan perlu dikaji
kembali secara lebih mendalam, agar tidak menimbulkan polemik dan permasahan
baru, terutama yang berbau unsur politis.
Upaya-upaya lain yang dapat dilaksanakan pemerintah adalah,
memanfaatkan dana penghematan subsidi BBM untuk sebenar-benarnya menunjang
berbagai program strategis yang masih diperlukan, seperti pembangunan
infrastruktur, pendidikan, kesehatan, ekonomi dan lain-lain, dengan tetap
memiliki keterkaitan erat dengan upaya mensejahterakan masyarakat.
Mari
kita tunggu apa yang akan terjadi, sembari melakukan penelaahan dan pengkajian secara
lebih arif dan bijaksana. Karena melihat itu lebih ringan daripada yang memikul
beban. Pemerintah tak lantas harus selalu disalahkan, sementara kita sendiri
cuma bisa melihat atau berkomentar tetapi tidak berbuat apa-apa dan tidak ikut
memberi solusi.
Dalam
pemanfaatan BBM, masyarakat secara sadar juga harus mulai beradaptasi secara
bijak untuk mengubah pola pikir dan prilakunya. Gunakanlah BBM secara hemat,
atau mulai mencari sumber energi alternatif
sehingga tidak selalu bergantung pada minyak. Pembatasan penggunaan BBM
untuk kendaraan seperlunya, juga akan bermanfaat untuk mengatasi kemacetan dan
polusi. Selain itu, bagi yang bernasip lebih baik menjadi kalangan mampu
ekonomi menengah ke atas, tumbuhkanlah kesadaran untuk tidak berebut subsidi,
berikanlah kesempatan bagi masyarakat miskin yang lebih berhak menikmatinya.
Polemik
penentuan harga BBM jangan sampai terus berkepanjangan. Pemerintah harus tegas
segera menentukan pilihan, untuk meredam gejolak agar tidak semakin meluas.
Unjuk rasa
mahasiswa maupun berbagai elemen harus diarahkan pada situasi yang lebih
kondusif. Karena menyuarakan aspirasi tentu tidak harus bertindak anarkis. Akan
ironis jika berdemo atas nama kepentingan masyarakat tetapi malah menciptakan
situasi yang meresahkan masyarakat. Ironis pula ketika demo dilakukan untuk
menyelamatkan uang rakyat, tetapi merusak sarana umum atau fasilitas negara,
yang tak urung saat harus membangun atau pengadaan kembali fasilitas yang
dirusak, akan menggunakan anggaran negara yang juga milik rakyat, yang berarti pemborosan
dan justru akan merugikan rakyat.
Ya. Marilah
selalu berpikir dan berprilaku positif. Apapun keputusannya, semoga ada hikmah
dan pelajaran berharga yang dapat kita petik dari permasalahan BBM. Karena pada
hakekatnya, meskipun berbeda pandangan dan diwarnai perdebatan, kita harus
tetap satu, bersama untuk terus membangun bangsa.***
(Ferry R)
No comments:
Post a Comment